Translate

Al Quran & Sejarah Penyusunan

 SAHABAT IBNU MAS'UD
Abdullah Ibn Mas’ud
Saksi ketidak-beresan Mushaf Utsman



Banyak teman Muslim kurang mengenal sosok
istimewa ini, atau mengenalnya sekedar secara
sempit dan bias. Soalnya dalam teks umum yang
mengisahkan proses tentang kompilasi Quran, sosok
Abdullah ibn Mas’ud sering dikesampingkan dengan
sengaja. Kenapa begitu? Ya, Ibnu Mas’ud adalah
pakar pengajian yang diakui Muhammad. Ia terlalu
tahu akan konten Quran dan tidak segan-segan memprotes mushaf edisi
khalifah yang dianggap dipaksakan proses kompilasinya menjadi kanon
keshahihan. Sejak semula ia telah menolak sejumlah surat dan isi ayat
yang ada didalam Mushaf Utsman (Quran sekarang ini). Dengan demikian
sikap Ibn Mas’ud yang kontra-arus mayoritas (baca: otoritas kekuasaan)
ini dianggap merugikan bahkan membahayakan Islam, yang bagaimana-
pun tidak bisa mengakui adanya versi “tandingan”. Itulah sebabnya ia
perlu disingkirkan sejak dulu – apalagi sekarang ini – disaat orang sudah
tidak mungkin mengubah atau meng-otak-atik “kesempurnaan-tunggal”
mushaf Utsman.

Tetapi sejarah mencatat mushaf Ibn Mas’ud sempat sangat populer dan
memiliki pengaruh yang luas khususnya di Kufah, Iraq, sehingga jejak-
jejaknya masih berhasil diungkapkan kembali sebagian sebagian, seperti
yang sempat diriwayatkan oleh Ibn al-Nadim dalam versi Fihrist, dan juga
al-Suyuthi dalam versi Itqan. Mushaf Ibn Mas’ud misalnya tercatat tidak
memuat Surat-surat ke 1, 113, dan 114. Urutan surat juga berbeda,
dimana surat pertama adalah al-Baqarah (surat Quran ke-2), diikuti surat
al-Nisa’ (surat ke-4), baru Ali Imran (surat-3), Al-A’raf (surat-7) dll. 

Juga
banyak ayat dalam Quran (yang sekarang ini) yang ternyata berbeda
teksualnya, misalnya dalam surat al-Baqarah saja tercatat tidak kurang
dari 101 perbedaan teks terhadap apa yang dihimpun Ibnu Mas’ud dari
mulut Muhammad! Semua basmalah dikeluarkan karena tidak dianggap
wahyu. Sekalipun praktis tidak ada orang Muslim yang mau mengambil
resiko melawan arus dengan mengadopsi jejak-jejak mushafnya Ibn
Mas’ud (karena semua fragmen dan mushaf tandingan sebagai bukti
kebenaran itu sendiri telah termusnahkan akibat dari dekrit Utsman),
namun integritas dan otoritas keilmuan Ibn Mas’ud tidaklah bercacat
sebagaimana yang terjadi pada diri Utsman.

Ibn Mas’ud sering di-stigmatisasi oleh pakar Islam sekarang ini sebagai
orang yang emosionil dan banyak ber-ulah. Tetapi jangan lupa, ia yang
polos dan berwatak lugas itu tentu layak beremosi ketika ia dizalimi
secara kotor. Orang seperti Ibn Mas’ud tidak akan “ber-ulah”
sembarangan. Ia adalah sosok yang dikenal sangat serius, kritis, dengan
integritas yang tidak menjilat. Ia adalah salah satu Sahabat Nabi yang
paling awal memeluk Islam dan berhubungan sangat dekat dengan Nabi
dan keluarganya. HR al-Bukhari meriwayatkan bahwa ibn Mas’ud dan
ibunya bebas keluar-masuk rumah Rasulullah SAW, bahkan diizinkan
untuk mendengarkan pembicaraan rahasia keluarga Nabi, sekalipun
istrinya tidak mengenakan hijab (HR.Muslim). Ibn Hisyam dalam bukunya
“Life of Muhammad” melaporkan bahwa ia adalah Muslim pertama yang
membacakan bagian dari ayat-ayat Al-Quran secara lantang dan terbuka
kepada kaum Quraisy yang melemparinya dengan batu. Dia pula yang
menjadikan dirinya algojo bagi pemenggalan kepala Abu Jahl demi
Nabinya. Huzaifah bin al-Yaman (sahabat dari kaum Ansar) sampai
memberi testimony tentang akhlak dan perilakunya yang mirip Rasulullah
yang diteladaninya:
“Aku tidak pernah melihat seseorang yang kekhusyukan dan perilakunya
lebih dekat dengan Rasulullah SAW dibanding Ibnu Mas’ud”.

Selain dari itu, ia pulalah yang paling dipuji dalam hal pengajian dan
otoritas keilmuan Al-Quran oleh Nabi sendiri:
“Belajarlah mengaji Quran dari 4 orang: dari Abdullah bin Mas’ud – beliau
memulai dengan nama ini – Salim, ex-budak merdeka dari Abu
Hudhaifah, Mu’adh bin Jabal, dan Ubay bin Ka’b.”
(Sahih al-Bukhari, V, pp.96-97).
Perhatikan bahwa anak kalimat yang digaris bawahi itu adalah komentar
dari perawi terkenal Masruq. Itu menunjukkan bahwa diantara orang-
orang Muslim pada masa itu, Ibn Mas’ud dianggap sebagai sosok yang
otoritasnya paling terkemuka dalam hal Quran.

Ia diakui sebagai fakih dan hafiz, guru dan qadi bagi penduduk Kufah. Ia
senantiasa menyertai Nabi dalam bepergian dan tidak absen dalam
banyak peristiwa yang kritis. Ia turut dalam sejumlah peperangan
bersama sama dengan Nabi (perang Badr, Uhud, Khandaq), dan ikut
sumpah setia Baiat ar-Ridwan dilembah Hudaibiyah, tahun 6 H. Dengan
demikian ketika wahyu-wahyu turun kepada Nabi yang memang tidak
mengenal tempat dan waktu khusus, maka Ibn Mas’ud lah orang yang
paling sempat dan mampu mencatatnya secara benar. Itu sebabnya
beliau berani bersumpah: “Demi Allah, tidak ada satu ayatpun dari Al-
Quran tanpa kuketahui latar belakang diturunkannya ayat tersebut. Tidak
ada seorang-pun yang lebih mengetahui tentang Kitabullah dibanding
aku. Meskipun begitu, aku bukanlah orang yang terbaik diantara kalian”.
(HR.Ahmad bin Hanbal).
Dia mengklaim mengetahui semua latar belakang diturunkan setiap ayat
yang dicatatnya! Itu sebabnya dia berani menolak surat 113 dan 114
sebagai wahyu, karena latar belakang kedua surat tersebut diketahuinya
sebagai sebentuk doa yang dipanjatkan Nabi untuk mendapatkan perlin-
dungan Ilahi bagi kedua cucunya, Hasan dan Husen. Tidak berkata
sembarangan, Ibn Mas’ud dan memang hanya dia-lah yang sudah
membuktikan otoritasnya dalam satu acara khusus dimana ia
mendemontrasikan mengaji (tekstual) hingga lebih dari 70 Surat, dimana
                    Nabi sendiri hadir, dan tidak ada seorangpun
                    diantara hadirin yang menyalahkan pengajiannya

(Sahih Muslim, vol 4, p.1312 ). 
Itu sedikitnya berarti
bahwa kumpulan 70 surat tersebut adalah kanonik,
shahih dihadapan Nabi dan proven bacaannya
dihadapan publik! Dialah, dan bukan Zayd, Utsman, dll yang berani
berkata apa seadanya:
“Saya mendapatkan langsung dari Rasulullah 70 surat ketika Zayd masih
remaja kanak-kanak. Apakah kini saya harus membuang apa yang saya
peroleh langsung dari Rasulullah?” 

(Ibn Abi Dawud, Kitab al-Masahif, p.
15).

Jadi kenapa kelak Zayd dan Utsman tidak sedikitpun merujukkan ke-70
Surat kanonik tersebut ketika mereka berusaha membukukan Quran?
Atau sedikitnya menyertakan pemiliknya duduk dalam Panitya Pembukuan
Quran? Atau paling tidak menjadikannya “tempat berkonsultasi”, jikalau
Muhammad sendiripun sempat diperintahkan Allah untuk berkonsultasi
kepada pembaca pembaca kitab Taurat dan Injil ketika beliau ada
keraguan atau ketidak tahuan? (Qs.10:94;16:43).

Mengingat kapasitas Ibn Mas’ud ini, dan fakta bahwa jumlah surat dan
ayat yang diturunkan di Mekah -- dengan volume hampir 70 % dari total
wahyu -- adalah jauh lebih besar dari pada yang diturunkan di Medinah,
jelaslah bahwa keabsahan mushaf Ibnu Mas’ud menjadi paling berwibawa.
Tidak ada orang yang bisa membantah (kecuali menyembunyikan saja)
bahwa dialah salah satu otoritas terbesar dalam al-Quran, dan tanpa
tandingan untuk surat-surat Makkiyah!
Khalifah Umar bin al-Khattab dalam suratnya kepada penduduk Kufa
secara konsekwen mengkonfirmasi-kan keteladanan dan ilmunya:
“Demi Allah yang tidak ada Tuhan selain Dia, sesungguhnya aku meng-
utamakan Abdullah bin Mas’ud atas diriku. Maka tuntutlah ilmu darinya.”

Sebagai tambahan, Ibnu Mas’ud ini bukan hanya di-qualified oleh Nabi,
melainkan juga oleh Jibril menurut tradisi. Ia dikatakan turut hadir ketika
Muhammad sedang me-review Al-Quran dengan Jibril setiap tahun; dan
bahwa dialah yang telah berhasil mengumpulkan 90 Surat. (Ibnu Sa’d,
Kitab al-Tabaqat al-Kabir, vol.2, p 441, 457). Maka ketika ia masih
menyaksikan kedua surat 113 dan 114 hadir sebagai bagian mushaf
Utsmani, iapun berkata:
“Jangan menulis kedalam Quran apa yang bukan bagiannya!”

Bagaimana dengan Surat Al-Fatihah itu sendiri?
Seperti yang disebutkan diatas dan yang sudah diketahui luas, Surat
Pembukaan ini -- berdasarkan latar belakang wahyu yang diturunkan –
ternyat tidak dimasukkan oleh Ibn Mas’ud dalam koleksi mushafnya.
Surat yang paling diagungkan Islam ini justru tidak punya silsilah kapan
dan dimana ia diturunkan Allah kepada Muhammad, atau diturunkan
setelah surat yang mana juga tidak diketahui dengan pasti!
Ada pakar yang berspekulasi bahwa surat ini termasuk surat Makkiyah,
tetapi ada yang mengakuinya sebagai surat Madaniyah. (lihat pelbagai
ensiklopedi Islam, atau Muqaddimah Terjemah Quran oleh Moh. Rifai). Ibn
al-Hassar secara kuat memastikan 20 surat Madaniyah dan 82 surat
Makkiyah, dan menyisakan 12 surat yang dipertentangkan makki-madani-
nya, dimana salah satunya adalah surat al_Fatihah! (lihat al-Itqan I/
44-45). Malahan ada yang meyakini surat itu diturunkan dikedua tempat
tersebut. Sedangkan sejumlah ulama termasuk Syeik Allamah
Thabathabai malahan mengatakan surat istimewa itu telah diturunkan
berulang-ulang, ya di Mekah, ya di Medinah, menjadikan Jibril hampir tak
ada kerjaan lain kecuali mengurusi Surat ajaib ini berulang-ulang!

Muslim awam akan kaget mendapati kenyataan ini. Sebab bukankah
Surat yang bernama Al-Fatihah sudah menunjukkan bahwa ia harus
ditempatkan sebagai Surat Pembukaan (al-Fatihah), jadi, ya seharusnya
is merupakan surat awal Makkiyah! Lagi-lagi ini kekeliruan menyusuli
kekeliruan! Si penyanggah ini lupa bertanya, “Siapakah yang memberi
nama “al-Fatihah” dan siapa yang menempatkan surat tersebut?” Hanya
apabila Allah yang memberi nama dan penempatan lewat wahyuNya,
maka ia mempunyai legitimasi ilahi sebagai Pembuka Al-Quran yang
sesungguhnya, dan bukan sempalan manusia. Tetapi dimanapun dalam
Quran, Muhammad tidak pernah menamakan judul bagi surat-surat-nya,
melainkan hanya disebut nama generiknya saja sebagai “sebuah surat“,
atau “suatu surat” (Qs.2:23, 9:86, 24:1 dst). Surat-surat ini dalam
sejarah awal Islam, dirujuk dengan pelbagai nama yang beragam,
sebagiannya telah dibuang, dan baru muncul pembakuan judul surat-
surat yang membuktikan bahwa itu semua adalah penjudulan manusia. ..
      “Merupakan suatu hal yang pasti bahwa nama-nama yang diberikan
      kepada surat-surat itu bukanlah bagian dari Quran. Tidak jelas kapan
      munculnya nama-nama surat yang beragam itu…sekitar pertengahan abad
      ke-8 dapat dipastikan bahwa nama-nama surat yang beragam itu telah
      memasyarakat” 

(Taufik A. Amal, Rekonstruksi Sejarah al-Quran, p.
      211-212).
Keraguan akan pewahyuan Surat Al-Fatihah ini sungguh didukung oleh
segudang fakta historis, antara lain menyangkut hal-hal berikut ini:
1). Surat al-Fatihah ini tidak mempunyai pijakan asal-usul dan sebab
musabab pewahyuannya; ia yang sekalipun dianggap surat paling terhor-
mat, namun muncul begitu saja tanpa silsilah!
2). Kosong-kronologi, tidak diketahui kapan ia diturunkan dan dimana.
Bahkan tak ada indikasi ia diturunkan setelah ayat atau surat apa.
3). Tidak memiliki legitimasi ilahi dalam tata-letaknya sebagai Ummul
Kitab, al-Kafiyah, al-Asas dan sebagai surat pertama, sebab bukan
Muhammad yang menetapkannya disana. Pernahkah Nabi menetapkan:
“Letakkan surat al-Fatihah sebagai Surat pertama dari semua Quran yang
terkumpul?”
4). Kosong dari saksi-mata, sebab siapakah yang sudah membacanya
sebagai wahyu sebelum hijrah? Al-Fatihah hanya diketahui muncul ketika
liturgi Islam dibakukan dalam tradisi shalat setelah mikraj dan hijrah ke
Medinah.
dari liturgi yang dibakukan dalam tradisi shalat
5). Konsekwensi fatal yang tidak ingin dilihat oleh Muslim, bahwa konten
wahyunya menunjuk secara lurus: ia yang wahyu dipersekutukan dengan
non-wahyu!

      NB. Menurut makna dan isi teksnya, al-Fatihah jelas bukan seruan doa
      dari Allah tetapi sebaliknya, seruan doa manusia kepada Allah. Namun
      menurut formatnya, ia tidak mungkin lain dari sebentuk wahyu langsung
      ucapan Allah sebagaimana seluruh kalimat Quran itu adalah seruan Allah.
      Jadi bagaimanakah memahaminya?
      Lihat bahwa Allah tidak menyertakan kata tanda “Qul” [Katakan (hai
      Muhammad)….] kedalam surat ini, khususnya untuk ayat 5-7, yang
      memperlihatkan bahwa ia hanyalah sebentuk doa dari manusia, bukan
      kata-kata verbatim dari mulut Allah. Bukankah penandaan kata ini sudah
      dibakukan secara khusus dan sudah diserukan oleh Allah sendiri sebanyak
      332 kali “Qul” diseluruh Quran? Maka mungkinkah surat al-Fatimah akan
      dilalaikan dari satu kata “Qul”/ “Katakan”… bilamana Allah menginginkan
      KalimatNya itu diulangkan oleh Muhammad? Kata-seruan itu mutlak
      diperlukan demi menjaga agar FirmanNya jangan sampai dipersekutukan
      kedalam “firman manusia”.

Salah paham antara Nabi dan sahabatnya tentang keberadaan ayat-ayat
selalu bisa terjadi, dan sebagiannya tampaknya sudah luput dari catatan
sejarah. Salah paham sejenis khususnya mudah terjadi untuk bentuk
“bacaan doa pendek” dari Nabi, yang lalu dianggap sebagai kalimat
wahyu, karena kebetulan bacaan itu ber-rema DOA dan diucapkan oleh
Nabi secara sakral dan transenden dalam situasi doa. Dalam suasana
demikian, kalimat-kalimat yang berkarakter demikian juga mungkin
diaktualkan sebagai wahyu mistis, larger than life – oleh Muhammad
ataupun para sahabatnya, entah sengaja atau tidak -- karena akseptasi
bersama. Dan itu agaknya dipenuhi sebaik-baiknya oleh “surat” 1, 113,
dan 114, yang memang semuanya adalah ujud-ujud doa pekat yang agak
puitis, lengkap dengan nuansa pemujaan dan penyembahan!
Ingat analogi legenda mikraj yang juga dikisahkan larger than life
sampai kelangit ketujuh, namun tidak disinggung sedikitpun dalam Quran
sendiri! ...

Namun sayang, Muslim sekaliber Ibnu Mas’ud ini -- dalam moral,
pengetahuan Quran, dan integritas yang berani berjuang melawan-arus
tanpa pamrih -- ia justru disisihkan Utsman secara sistematik, tanpa
didengar-kan sedikitpun! Ia yang paling diotorisasikan oleh Muhammad
untuk mengajar Quran 

(termasuk “mengajar” Zayd dan Utsman tentunya!), 
kini tidak diajak duduk dalam kepanityaan penyusunan ulang
Al-Quran. Ia yang terbukti memiliki sedikitnya 70 surat yang kanonik
tanpa terbantah, ternyata samasekali tidak dirujukkan koleksinya oleh
Zayd dan Komisi Pengumpulan Al-Qurannya. Melainkan Zayd justru
secara insidental merujukkannya kepada koleksi Khuzaymah bin Thabit al-
Ansari (yang belum teruji) untuk satu ayat Quran yang kelolosan, yaitu
ayat 23 surat al-Ahzaab! Bukankah itu pilihan konyol? Siapa yang
memastikan hanya ayat itu saja yang kelolosan dan tidak ada yang
lainnya? Malahan oleh Utsman, koleksi Ibn Mas’ud iitu harus dilenyapkan
tanpa dipersalahkan! Dan ia sendiri dipecat dari jabatannya di Kufah.
Alangkah malangnya sahabat Nabi yang satu ini...

Kita bangsa Indonesia masih teringat akan kasus “tercolongnya” satu ayat
dalam Rancangan Undang-Undang Kesehatan yang sudah disetujui DPR
(ayat 2 Pasal 113 UU Kesehatan, th.2009) yang menyangkut soal
tembakau. Bukankah pihak yang bertanggung jawab dalam penghilangan
itu akan diperiksa dan dituntut? 

Nah, Zayd yang bertanggung jawab atas
pengumpulan mushaf Abu Bakar yang ternyata (sedikitnya) defisit satu
ayat tsb tidak diperiksa, apalagi dituntut. Ia malahan dijadikan pahlawan
atas keberhasilan “penemuan” kembali satu ayat Khuzamah yang dia
sendiri korupkan tadinya. Dan revisi mushaf yang dihasilkannya tidak
diperiksa ulang, melainkan taken for granted sebagai karya sempurna!
Dari sisi ini saja, tanpa usah berprasangka, kita menyadari bahwa Mushaf
Utsman yang dianggap purna-sempurna identik seperti apa yang tertulis
di Lauhul Mahfudz tablet disurga, sebenarnyalah harus ditempatkan dalam
kesalahan sebesar seperti apa yang diumumkan – dan yang dimaksud-
kan -- oleh Ibn Mas’ud sendiri, yaitu, “Jangan menulis ke dalam Quran
apa yang bukan bagiannya!”

___________________________

 "Semoga Para Pemuda Bangsa Setanah Air ku. Dapat Segera Melihat Kebenaran Ini"
Support By : 

0 comments: